Himpunan Pencak Silat Panglipur

Riwayat Singkat Perjalanan Abah Aleh sebagai Pendiri Panglipur- Episode 1



"Panglipur" sebagai suatu system bela diri, tidak akan pernah terbentuk bila Abah Aleh sang Pendiri dan Pengkreasi Panglipur tidak pernah dilahirkan. Untuk itu, bila kita ingin mengenal, memahami, dan mengembangkan sejarah dan keilmuan Panglipur maka sangat perlu pula mengetahui perjalanan hidup Abah Aleh dari mulai dilahirkan hingga dikebumikan.

Banyak sekali versi dari sejarah Abah Aleh yangg penulis dengar dan baca semenjak terlibat dalam aktivitas ke'Panglipur'an. Namun dalam tulisan yang penulis susun ini, akan dicoba untuk mencari benang merah dari banyak kesamaan cerita yang dituturkan para sesepuh dan 'seuweu-siwi' (ahli waris dan keluarga) Abah Aleh.

Saran, nasihat, dan informasi sebagai bahan tambahan dari berbagai fihak yang berkaitan dengan isi tulisan ini sangat penulis harapkan demi tercapainya tujuan tulisan ini dalam mencari kebenaran sejarah dan keilmuan Panglipur. 

...................................................................................


Episode 1

Abah Aleh dilahirkan pada tahun 1856 dengan nama Saleh, beliau merupakan putra dari pasangan R. Suriadilaga dan Eyang Pinot. Suriadilaga adalah orang Banten yang dipekerjakan sebagai Anemer di stasiun kereta api Cibatu Garut. Selama tugasnya di Stasiun Cibatu, ayah dari Abah Aleh ini menetap di daerah Sumursari Sukasono yang merupakan sebuah kampung asri di kaki gunung namun dekat anak stasiun Pasir Jengkol sehingga berdekatan dengan tempat kerjanya. Di tempat tinggal sementaranya inilah ia tertarik dan menikah dengan gadis asli daerah tersebut yaitu ibu dari Abah Aleh yang bernama Pinot.

Bekerja di stasiun kereta api tidak selalu bisa menetap terus di satu stasiun sehingga kadang-kadang harus selalu berpindah-pindah. Begitu pula R. Suriadilaga--ayah dari Saleh--pada saat Saleh masih dalam kandungan, Ia mendapat tugas dari pemerintah Belanda pada saat itu untuk berpindah tugas kembali lagi ke Banten. Pada saat informasi ini disampaikan ke istrinya, Eyang Pinot tidak mau ikut pindah berhubung dengan kondisi kandungan dan juga keluarganya yang tidak mengizinkannya untuk meninggalkan Sukasono. Maka dengan terpaksa dan berat hati, pasangan yang baru mau memiliki keturunan tersebut harus bercerai dan Suriadilaga pun meninggalkan istri dan anaknya yang masih berumur 7 bulan dalam kandungan. Namun ia sempat berpesan, bila kelak ia tidak bisa kembali ke Garut dikarenakan tugas pekerjaannya, maka ia berharap nanti anaknya bisa menemuinya di kampung Menes Banten.

Tahun demi tahun semenjak Saleh kecil dilahirkan, ia tumbuh besar di bawah bimbingan sang ibu dan ayah tirinya, karena setelah beberapa tahun Suriadilaga tidak bisa kembali ke Garut maka Eyang Pinot memutuskan untuk menikah lagi agar Saleh kecil memiliki seorang figur ayah yang baik dan bisa menyayanginya. Ayah tiri Saleh yang bernama Almad adalah seorang pekerja keras, tiap hari dia mencari hasil hutan dari Gunung Sedakeling untuk dibuatkan menjadi perkakas rumah tangga dan dijual untuk menghidupi keluarganya. Ia sangat menyayangi istri dan anak tirinya, Saleh kecil pun dibesarkan dalam didikan fisik dan mental yang baik karena daerah Sumursari adalah sebuah daerah yang masih memiliki banyak tokoh agama dan juga tokoh bela diri yang memang masih ada hubungan keluarga dengan Saleh.

Saleh kecil atau yang sering dipanggil dengan nama kecilnya ‘Aleh’ ini sering diajak ayah tiri dan guru silat di kampungnya, Bah Dibja—seorang ahli Ujungan, yaitu suatu sistem serang bela menggunakan rotan atau bambu wulung (bambu yang tidak memiliki lubang dan sangat keras) atau bisa pula menggunakan tebu kuning yang dibakar sebentar. Dalam pertandingan ujungan, awalnya biasanya keduanya memegang pemukul dan tameng/perisai, nantinya dalam proses pertandingan bisa menjadi salah seorang hanya melawan dengan tangan kosong. Abah Dibja adalah salah seorang teman ayahnya juga dulu—untuk berlatih sambil membantu bekerja di hutan sekitar gunung Sedakeling. Ia sering disuruh memanjat pohon-pohon sambil mengambil ranting-ranting pohon atau pun buah dan daun yang bisa dijual dengan tanpa bantuan alat, sering pula disuruh menangkap ikan di danau hanya dengan tangan kosong, ataupun mencengkeram pasir dan memungut batu-batu kecil dari dasar danau air panas di kaki gunung Sedakeling dan mengumpulkannya di pinggir danau. Di saat istirahat dari kerja bahkan sambil mandi di kolam air panas, ayah tirinya sering mengajaknya berlatih jurus dan limbuhan (berlatih berpasangan menggunakan bambu sepanjang lengan yang saling beradu dengan langkah yang teratur, satu orang berlatih serangan dan pasangannya berlatih pertahanan, limbuhan adalah biasanya sebagai pendasaran sebelum mengikuti pertandingan ujungan).

Begitulah kehidupan keseharian Aleh dari waktu ke waktu hingga menjelang usia 17 tahun. Pada saat usia inilah, terjadi suatu peristiwa yang akan menjadi permulaan dari petualangannya dalam menuntut ilmu berkeliling Jawa Barat. Seperti biasa, pagi itu ia dan Mang Almad ayah tirinya berangkat ke hutan Sedakeling untuk bekerja. Menjelang sore, sudah banyak hasil hutan yang bisa mereka kumpulkan hingga tinggal satu pohon lagi yang paling besar yang perlu mereka panjat. Saleh pun dengan sigap memanjat pohon tersebut untuk diambil beberapa dahan dan ranting yang hampir mati untuk nantinya dijadikan perkakas rumah tangga. Sang Ayah menunggu di bawah untuk memunguti dahan dan ranting yang dipatahkan Saleh. Namun belum lama mereka bekerja di pohon besar tersebut, datanglah beberapa penjaga hutan yang merupakan antekatau anak buah orang Belanda dengan membawa alat gergaji besar. Mereka sepertinya hendak menebang pohon besar tua yang sedang dipanjat oleh Saleh. 
Begitu mereka melihat pohon yang akan mereka tebang sedang dipanjati oleh Aleh dan diambil dahan dan ranting patahnya oleh Mang Almad, maka antek-antek Belanda tersebut langsung marah-marah menghardik ayah dan anak tersebut.

“Hai kalian, orang sini tidak boleh lagi mengambil bagian dari isi hutan ini tanpa izin kami, hutan ini sudah milik pemerintah Belanda, tinggalkan hasil hutan kalian dan pergi dari sini. Kalau tidak, kalian akan kami tahan!” Hardik mereka.
“Kami hanya mengambil dahan dan ranting yang sudah mati, lagipula hutan ini milik rakyat kami sejak dari dulu, kami dan nenek moyang kamilah yang memelihara dan memanfaatkannya semenjak dulu hingga sekarang dengan tanpa merusaknya sedikitpun. Kalian sebenarnya yang sering merusak hutan kami, seharusnya kalian menjaga kelestarian hutan ini, namun kalian bahkan menebang pohon-pohonnya dengan serakah sehingga sumber air kami semakin sedikit”. Sahut Mang Almad.
“Aah...! Kamu jangan banyak omong, pergi dari sini atau kalian kami tangkap!” Sergah polisi hutan tersebut.

Gertakan para polisi hutan tersebut tidak membuat gentar Mang Almad, bahkan ia kelihatan bersiap siaga menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Maka dengan serempak para polisi hutan yang berjumlah 6 orang tersebut menyerang ayah tiri Aleh yang seorang diri. Tempaan beladiri sejak kecil yang telah dimiliki ayah tiri Aleh ini memang membuahkan hasil, pukulan dan tebasan senjata yang dilancarkan para polisi hutan tersebut bisa dihindarkan Mang Almad dengan sekali hentakan langkah dan putaran tubuh yang disertai dengan liukan badan seperti gerakan pohon bambu atau pohon kelapa menghadapi serangan angin puting beliung. Dalam sekejap mata, serangan balik dari kedua tangan dan kaki kanan Mang Almad yang dilancarkan sekaligus—dengan bertumpu pada kuda-kuda satu kaki—mengenai kepala dan pinggang 3 orang polisi hutan dengan telak hingga jungkir balik. Menyadari keahlian bela diri Mang Almad yang sepertinya akan sulit dikalahkan, kepala polisi hutan yang memiliki senjata api langsung mencabutnya dan mengarahkan senjata ke arah Mang Almad. Melihat hal ini, Aleh yang dari tadi hanya menonton saja dari atas pohon terkejut dan sadar akan bahaya yang mengancam ayah tirinya. Tanpa pikir panjang sambil menggenggam sebilah dahan sebesar pergelangan anak kecil yang tadi baru dipatahkannya, Aleh segera melompat dari atas dahan pohon ke arah si kepala polisi hutan. Begitu salah satu kaki Aleh menginjak tanah, bersamaan dengan sambaran sekuat tenaga dari bilah dahan tersebut tepat mengenai pergelangan tangan si kepala polisi yang tidak menyadari datangnya serangan. Letusan dari peluru senjata api menggema namun bukan mengenai tubuh Mang Almad tapi menembus lutut salah satu polisi lain yang hendak ikut menyerang Mang Almad. Tidak sampai disitu saja, pada saat kaki lain Aleh mendarat di tanah, tebasan susulan bilah dahan tersebut secepat kilat menghantam pelipis sang polisi dan secara refleks lalu bilah tersebut dipegang dengan kedua tangan dan dilingkarkan di leher sang polisi yang bersamaan dengan melipat kedua tangannya, patahlah leher sang polisi di atas bahu Aleh.

Melihat kejadian ini, kontan kelima polisi hutan tersebut kaget dan tanpa aba-aba lagi semua langsung kabur sambil memapah yang terkena tembakan. Terkesima dengan kejadian yang begitu tak terduga membuat Mang Almad dan Aleh terbengong-bengong, mereka tidak menyangka akan membunuh si kepala polisi hutan tersebut. Memang tadinya tidak ada niat hingga membunuhnya namun kekagetan melihat senjata api dan kekhawatiran akan keselamatan ayah tirinya membuat Aleh tidak lagi bisa mengontrol serangannya.

Setelah sadar akan peristiwa yang telah terjadi, Mang Almad langsung mengajak anak tirinya untuk cepat pergi dari tempat tersebut. Ia yakin sesuatu yang tidak diharapkan akan segera terjadi bila mereka tidak segera pergi dan bersembunyi sementara waktu. Ingatan Mang Almad langsung tertuju akan suatu tempat dimana ia dan sahabatnya, yaitu ayah dari Aleh sering bertafakur dan menyepi diri di suatu goa di atas Danau Cipanas di kaki gunung Sedakeling. Bergegaslah mereka ke goa yang dikenal dengan nama Guha Guranteng di wilayah gunung Sedakeling. Berbekal buah-buahan yang didapat di sekitar hutan, Ayah dan anak tersebut bersembunyi selama seminggu di dalam Goa tersebut. Kebetulan memang tidak sembarang orang bisa melihat dan mecapai mulut goa tersebut karena selain tertutup semak belukar, untuk bisa mencapainya harus menyeberangi danau dulu dan menaiki tebing yang terjal.

Amanlah mereka dari kejaran polisi dan kaki tangan Belanda yang semenjak kejadian tersebut terus berkeliling kampung dan mencari pembunuh kepala polisi hutan. (Cecep Arif Rahman, 2009)

1 comment:

  1. Maaf sebelumnya, saya tertarik untuk bergabung dengan perguruan silat panglipur.
    Boleh saya tau contact person atau e-mail yang dapat saya hubungi untuk bertanya lebih jauh?
    Terimakasih sesudahnya, salam hormat.

    ReplyDelete